Langsung ke konten utama

Cerpen 2



Untukmu Aku Bertahan
Sherly. Begitulah keluarga dan orang-orang disekitarku memanggil. Aku tinggal bahagia dengan keluarga kecilku. Ayahku adalah salah seorang pengusaha furniture yang sedang naik daun. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang pandai memasak dan sabar menghadapi anak-anaknya. Aku? Aku hanyalah seorang cewek yang tidak suka macam-macam dan suka berbelanja.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah dengan mengenakan bet 3 SMA. Aku mengendarai motor kesayanganku ke sekolah. Tiba di sekolah, aku telah disambut ‘genk’ku.
“SHERLY!!!” suara Mila memecah alunan pagi yang sedang kunikmati.
“Hai Mila! Dah lama nih nggak ketemu kamu,” seruku sambil memeluk sahabatku yang satu itu. “Firna mana ya?”
“Ah, kamu kayak nggak kenal Firna aja. Dia kan bintang terlambat, Sher.” Kata Mila yang akhirnya kusambut dengan tawa.
Bel masuk berbunyi mengiringi langkah kami yang sedang berjalan ke arah kursi duduk. Bu Marni sudah memasuki ruang kelas. Dari arah pintu, terdengar suara langkah kaki yang direm mendadak. Suara ketukan pintupun terdengar tak lama dari langkah kaki yang terhenti.
“Maaf, Bu. Saya terlambat,” seru seorang yang memiliki rambut sebahu dan diurai.
“Firna? Kebiasaanmu masih sama? Ke BK dulu ya, baru kamu bisa mengikuti pelajaran,” kata bu Marni.
“Baik, Bu.” Seru Firna yang kemudian melangkahkan kaki ke BK.
Pelajaran dilanjutkan hingga bel pulang berbunyi. Aku, Mila dan Firna pulang bersama.
“Sher, kamu si ‘itu’ gimana nih?” kata Firna memecah kesunyian.
“Eh? Itu siapa?” kataku dengan dahi tertekuk.
“Tuh, dia lewat. Hai, Do!” kata Mila yang sontak membuatku sedikit terperanjat.
“Ih, apaan sih kalian itu? Nothing special.” Aku sedikit bernafas lega karena Aldo-orang yang dipanggil Mila-tidak mendengar.
“Tapi kan dia udah jelas-jelas suka sama kamu, kurang apa coba, Sher?”
“Iya, Sher. Aldo kan baik, ramah, pinter, ganteng lagi!” seru Firna menambahi.
“Ah, aku merasa kurang cocok bersanding dengan dia. Eh, kok jadi ngomongin aku sih. Gaje banget ah!”
6 bulan kemudian ...
Jadwal pelajaran semakin padat. Tugas-tugas seakan mengantri meminta perhatian. Minggu depan, kami akan memulai hari dengan berbagai try out.
“Anak-anak, minggu depan kalian akan berhadapan dengan try out I. Untuk itu, ibu harap kalian lebih giat dalam belajar. Ibu akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok. Untuk kelompok, kalian bisa melihatnya di mading kelas.”
Setelah bel pulang sekolah, aku langsung beranjak melihat ke mading.
“Mila, Firna, Sherly, dan... Aldo??” Mila membaca kelompok belajar kami.
“Hah? Aldo? Yang bener, Mil?” aku terkejut dan menyipitkan mata untuk membaca pembagian kelompok belajar tersebut.
“Kita mulai belajarnya kapan nih?” suara berat tiba-tiba datang tepat dibelakangku. Membuat bulu kudukku sedikit berdiri. Menelan ludah dan menarik nafas panjang.
“Emm, gimana kalau besok Minggu jam 9 di rumahku?” Mila menawarkan diri.
“Setuju! Jam 9 di rumah Mila.”
Pagi hari, Firna dan Aldo sampai tepat pada waktunya. Mereka celingukan hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke rumah Mila.
“Assalamu’alaikum. Mila!” Firna dengan suara khas langsung mengetuk pintu yang dibalas jawaban dari dalam.
“Eh, kalian udah datang. Ayo masuk. Eh, Sherly mana?” tanya Mila.
Aku datang tergopoh-gopoh dan mendengar namaku disebut.
“Maaf ya teman-teman, aku telat.” Kataku sambil mengatur nafas.
“Nggakpapa, Sher. Ayo sini.” Seru Mila dengan senyum.
“Sherly, ka-kamu nggakpapa?” tanya Aldo tiba-tiba.
“Iya, Sher. Kamu sakit? Mukamu pucat banget lho.” Kata Firna.
“Nggakpapa kok. Ayo belajar.” Seruku dengan mengusir pikiran buruk penyakitku.
“Pulang bareng aku aja ya, Sher.” Kata Aldo setelah belajar kelompok telah selesai.
“Nggak usah, Do. Aku sendiri-“
“Bareng Aldo aja, Sher. Kasian kamunya.”
Setelah kupikir beberapa saat, tak ada salahnya kan? Akhirnya aku mengangguk setuju dan dibalas dengan senyuman Aldo yang aku sendiri tak mengerti artinya.
Seminggu setelah kejadian itu, tubuhku sangat lemah dan aku sering mimisan. Akhirnya, ayah dan ibu membawaku ke rumah sakit.
“Anak saya sakit apa, Dokter?” kata ayah dengan nada khawatir.
“Anak anda mengidap penyakit kanker darah, Pak.”
“Tidak mungkin! Anak saya sehat-sehat saja, Dokter!” seru ibu dengan menahan tangis.
“Tapi masih bisa disembuhkan kan, Dok?”
“Itu adalah kemungkinan yang kecil, Pak.”
Aku mendengar semua pembicaraan itu. Kanker? Tuhan, aku sangat takut. Tak terasa satu persatu air mataku tumpah. Tuhan, izinkan aku tetap bertahan..
Tepat seminggu sebelum ujian nasional, tubuhku semakin lemah. Penyakit yang kuderita semakin parah. Keluarga dan tema-teman senantiasa hadir menyemangatiku.
“Sher, kamu harus kuat! Aku tau kamu pasti kuat. Aku sayang sama kamu, Sher. Plis, aku mohon kamu cepet sembuh,” suara yang sangat kukenal.
“Aldo...” ucapku lirih.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Sher.”
“Do, aku pingin kamu tahu sesuatu.. a-aku sayang kamu, Do.”
“A-aku nggak salah denger, Sher?”
Aku hanya bisa menggeleng lemah dan berusaha memberi senyuman padanya.
Keesokan paginya, Aldo kembali menjenguk. Tapi sayang, kondisiku terlampau parah. Kritis. Dokter berusaha keras untuk menyembuhkanku.
“Kita butuh donor sumsum tulang belakang secepatnya! Kalau tidak, nyawa Sherly tidak akan tertolong.” Kata dokter.
Ayah dan ibu bergegas melakukan tes kecocokan sumsum tulang belakang.
“Sher, bertahanlah. Masih banyak hal yang belum kita lakukan. Aku mohon.” Aldo berkata lirih disampingku.
Dari hasil tes, ternyata sumsum tulang ibulah yang cocok dengan sumsum tulangku-aku diberitahu setelah siuman-. Dokter segera melakukan operasi. Teman-teman dan keluarga berdoa semoga operasi berjalan dengan lancar. Setelah beberapa jam, operasipun selesai dengan lancar.
“Bangun, Nak. Ayah dan ibu sudah rindu dengan canda tawamu. Cepat bangun, Nak,”
“Sher, bangunlah..”
“Sherly, kita udah kangen banget sama kamu. Bangun, Sher..”
Aku mulai bisa mendengar apa yang barusaja mereka ucapkan. Aku mengumpulkan seluruh kekuatan dan mencoba mengerjap-ngerjap mata. Hey, aku mulai melihat atap rumah sakit yang putih. Aku melihat keluarga dan teman-temanku yang banjir akan air mata.
“Kok pada nangis sih?” seruku bingung menatap sekitar.
“Kita semua seneng kamu udah siuman, Sher,” kata Firna dengan mengusap air matanya.
“Makasih udah bertahan, Sher,” ujar Aldo yang sekarang tepat berada di sebelah kanan ranjangku.
“Untukmu, aku bertahan, Do.” Kataku dengan berusaha memberi senyuman kepadanya.
Tepat sehari sebelum ujian nasional dilaksanakan, aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Aku segera mengejar ketertinggalanku. Teman-temanku berbaik hati mengajariku. Kami belajar lebih giat untuk hari esok.
Ujian nasional berhasil mereka lewati dengan lancar. Beberapa minggu kemudian, hasil ujian telah keluar. Aku dan teman-temanku bersorak girang dengan nilai yang memuaskan. ‘YEAY KITA LULUS!’ itulah kata teman-teman seangkatanku.
“Bisa ngomong sebentar?” suara berat tiba-tiba memeotong pembicaraanku dengan Mila dan Firna. Aku kenal dengan suara itu. Aku langsung balik badan dan mengikuti langkah tegapnya yang ternyata menuju taman sekolah.
“Aku gak bisa pendam ini lagi, aku cuma mau bilang.. Emm.. Aku udah lama punya perasaan ini, Sher. Dan aku rasa inilah waktu yang tepat untuk bilang ke kamu. Maukah kamu jadi pacarku?”
“Sebenarnya, akupun punya perasaan yang sama denganmu, Do. Dan memang inilah waktu yang tepat. Waktu aku sakit kemarin, aku liat ketulusan kamu, kesabaran kamu dan kasih sayang kamu.. Dan untukmu aku bertahan. Jadi, IYA!” seruku menatap bola matanya.
“Yeeeee, nah gini kek dari dulu” seru Firna tiba-tiba.
“Cuma mau bilang iya aja nunggu lulus.. hahaha” Mila muncul tepat dibelakang Firna. Aku hanya bisa manyun melihat kedua sahabatku yang pasti menguping pembicaraanku tadi.
Setelah lulus, aku dan Aldo melanjutkan ke universitas yang sama. Lima tahun kemudian, aku resmi bersanding dengan pangeranku yang satu ini. Aku bahagia di dekatnya. Jika penyakitku datang kembali, aku harus bertahan. Untukmu aku bertahan, Aldo.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dia

Dia Aku menemukan hal baru dalam hidupku. Suatu hal yang membuatku nyaman di tanah perantauan. Aku belum lama mengenalnya, tapi dia dengan cepat menyita perhatianku.  Dia bukan orang yang sempurna. Tapi ketidaksempurnaannya membuatku paham, bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Banyak sekali orang berlalu lalang di hadapanku, tapi kenapa harus dia? Aku menganggap ini semua takdir. Ya, takdir yang mempertemukanku dengannya. Sampai saat ini, aku belum paham apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku ingin lebih lama dengannya. Ingin menjalani hari-hari yang melelahkan ini dengannya.  Ya, dia salah satu penyemangatku di tanah asing ini. Aku merasa nyaman di dekatnya. Aku ingin duduk berdua dengannya di tempat yang indah dan menceritakan segalanya kepadanya. Indah bukan?  Dia selalu berkata,aku terlalu baik untuknya. Tapi,aku ingin mengatakan bahwa aku baik karna dia. Aku berusaha menjadi terbaik untuknya. Hanya ingin dia tahu, bahwa aku sedang meman...

Tak Mudah untuk Melangkah

  Tak Mudah untuk Melangkah     Aku tenggelam.. Aku tenggelam dalam rasa takut yang kian hari kian membelengguku. Stuck ! aku tak bisa bergerak. Aku melihat kebelakang, ternyata sudah cukup jauh aku berjalan. Tapi untuk melangkah kedepan sungguh aku tak mampu, aku takut.. Lalu aku memilih untuk menghindarinya, menghindari tanggung jawab untuk melangkah maju melanjutkan perjalananku yang mungkin belum setengah jalan aku jalani. Aku memilih untuk tetap diam dan menunggu..   Aku kira, dengan menghindar akan membuatku lebih baik Tapi ternyata aku salah, aku salah besar.. Semakin hari semakin sesak dan semakin gelisah.. Aku dihantui tanggung jawab yang tak kunjung terselesaikan   Pada akhirnya, aku mencoba bangkit.. I say to myself “aku gak bisa kaya gini terus”   Aku ingat sekali, beberapa hari sebelum aku berjuang lagi aku selalu curhat ke Allah Karena saat itu aku merasa, aku butuh kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan manusia dan aku merasa mungkin ma...

Hijrahku - Part 1

Hijrahku Aku tidak ingat secara pasti, kapan keinginan dan rasa itu muncul. Tapi sepertinya, keinginan dan rasa itu muncul 2th yang lalu. Keinginan untuk menjadi pribadi dan muslimah yang lebih baik, yaa kalau jaman sekarang sering disebut ‘hijrah’ katanya. Tapi untuk menyebut diriku hijrah, sepertinya belum pantas, karena aku masih banyak sekali kekurangan.. Malu, malu dengan pakaianku yang dulu membentuk lekuk tubuh dan auratku masih terlihat. Hijrah dalam konteks islam bearti memutuskan atau meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintaiNYA (Kumparan.com, 2017). Jujur saja, banyak sekali hal yang harus di pertimbangkan atau mungkin lebih tepatnya aku memang belum siap waktu itu. Ada rasa takut, ragu, khawatir, gak pede dan sebagainya.. Takut, kalau aku gak bisa istiqomah Ragu, apa aku bisa? Khawatir dengan tanggapan orang nanti gimana yaa.. Dan gak pede karena penampilan baruku pasti sedikit banyak akan jadi perbincangan orang.. Salah satu ...