Untukmu Aku Bertahan
Sherly. Begitulah keluarga dan orang-orang disekitarku memanggil.
Aku tinggal bahagia dengan keluarga kecilku. Ayahku adalah salah seorang
pengusaha furniture yang sedang naik daun. Ibuku adalah seorang ibu rumah
tangga yang pandai memasak dan sabar menghadapi anak-anaknya. Aku? Aku hanyalah
seorang cewek yang tidak suka macam-macam dan suka berbelanja.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah dengan mengenakan bet
3 SMA. Aku mengendarai motor kesayanganku ke sekolah. Tiba di sekolah, aku
telah disambut ‘genk’ku.
“SHERLY!!!” suara Mila memecah alunan pagi yang sedang kunikmati.
“Hai Mila! Dah lama nih nggak ketemu kamu,” seruku sambil memeluk
sahabatku yang satu itu. “Firna mana ya?”
“Ah, kamu kayak nggak kenal Firna aja. Dia kan bintang terlambat,
Sher.” Kata Mila yang akhirnya kusambut dengan tawa.
Bel masuk berbunyi mengiringi langkah kami yang sedang berjalan ke
arah kursi duduk. Bu Marni sudah memasuki ruang kelas. Dari arah pintu,
terdengar suara langkah kaki yang direm mendadak. Suara ketukan pintupun
terdengar tak lama dari langkah kaki yang terhenti.
“Maaf, Bu. Saya terlambat,” seru seorang yang memiliki rambut
sebahu dan diurai.
“Firna? Kebiasaanmu masih sama? Ke BK dulu ya, baru kamu bisa
mengikuti pelajaran,” kata bu Marni.
“Baik, Bu.” Seru Firna yang kemudian melangkahkan kaki ke BK.
Pelajaran dilanjutkan hingga bel pulang berbunyi. Aku, Mila dan
Firna pulang bersama.
“Sher, kamu si ‘itu’ gimana nih?” kata Firna memecah kesunyian.
“Eh? Itu siapa?” kataku dengan dahi tertekuk.
“Tuh, dia lewat. Hai, Do!” kata Mila yang sontak membuatku sedikit
terperanjat.
“Ih, apaan sih kalian itu? Nothing special.” Aku sedikit bernafas
lega karena Aldo-orang yang dipanggil Mila-tidak mendengar.
“Tapi kan dia udah jelas-jelas suka sama kamu, kurang apa coba, Sher?”
“Iya, Sher. Aldo kan baik, ramah, pinter, ganteng lagi!” seru Firna
menambahi.
“Ah, aku merasa kurang cocok bersanding dengan dia. Eh, kok jadi
ngomongin aku sih. Gaje banget ah!”
6 bulan kemudian ...
Jadwal pelajaran semakin padat. Tugas-tugas seakan mengantri
meminta perhatian. Minggu depan, kami akan memulai hari dengan berbagai try
out.
“Anak-anak, minggu depan kalian akan berhadapan dengan try out I.
Untuk itu, ibu harap kalian lebih giat dalam belajar. Ibu akan membagi kalian
menjadi beberapa kelompok. Untuk kelompok, kalian bisa melihatnya di mading
kelas.”
Setelah bel pulang sekolah, aku langsung beranjak melihat ke
mading.
“Mila, Firna, Sherly, dan... Aldo??” Mila membaca kelompok belajar
kami.
“Hah? Aldo? Yang bener, Mil?” aku terkejut dan menyipitkan mata
untuk membaca pembagian kelompok belajar tersebut.
“Kita mulai belajarnya kapan nih?” suara berat tiba-tiba datang
tepat dibelakangku. Membuat bulu kudukku sedikit berdiri. Menelan ludah dan
menarik nafas panjang.
“Emm, gimana kalau besok Minggu jam 9 di rumahku?” Mila menawarkan
diri.
“Setuju! Jam 9 di rumah Mila.”
Pagi hari, Firna dan Aldo sampai tepat pada waktunya. Mereka
celingukan hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke rumah Mila.
“Assalamu’alaikum. Mila!” Firna dengan suara khas langsung mengetuk
pintu yang dibalas jawaban dari dalam.
“Eh, kalian udah datang. Ayo masuk. Eh, Sherly mana?” tanya Mila.
Aku datang tergopoh-gopoh dan mendengar namaku disebut.
“Maaf ya teman-teman, aku telat.” Kataku sambil mengatur nafas.
“Nggakpapa, Sher. Ayo sini.” Seru Mila dengan senyum.
“Sherly, ka-kamu nggakpapa?” tanya Aldo tiba-tiba.
“Iya, Sher. Kamu sakit? Mukamu pucat banget lho.” Kata Firna.
“Nggakpapa kok. Ayo belajar.” Seruku dengan mengusir pikiran buruk
penyakitku.
“Pulang bareng aku aja ya, Sher.” Kata Aldo setelah belajar
kelompok telah selesai.
“Nggak usah, Do. Aku sendiri-“
“Bareng Aldo aja, Sher. Kasian kamunya.”
Setelah kupikir beberapa saat, tak ada salahnya kan? Akhirnya aku
mengangguk setuju dan dibalas dengan senyuman Aldo yang aku sendiri tak
mengerti artinya.
Seminggu setelah kejadian itu, tubuhku sangat lemah dan aku sering
mimisan. Akhirnya, ayah dan ibu membawaku ke rumah sakit.
“Anak saya sakit apa, Dokter?” kata ayah dengan nada khawatir.
“Anak anda mengidap penyakit kanker darah, Pak.”
“Tidak mungkin! Anak saya sehat-sehat saja, Dokter!” seru ibu
dengan menahan tangis.
“Tapi masih bisa disembuhkan kan, Dok?”
“Itu adalah kemungkinan yang kecil, Pak.”
Aku mendengar semua pembicaraan itu. Kanker? Tuhan, aku sangat
takut. Tak terasa satu persatu air mataku tumpah. Tuhan, izinkan aku tetap
bertahan..
Tepat seminggu sebelum ujian nasional, tubuhku semakin lemah.
Penyakit yang kuderita semakin parah. Keluarga dan tema-teman senantiasa hadir
menyemangatiku.
“Sher, kamu harus kuat! Aku tau kamu pasti kuat. Aku sayang sama
kamu, Sher. Plis, aku mohon kamu cepet sembuh,” suara yang sangat kukenal.
“Aldo...” ucapku lirih.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Sher.”
“Do, aku pingin kamu tahu sesuatu.. a-aku sayang kamu, Do.”
“A-aku nggak salah denger, Sher?”
Aku hanya bisa menggeleng lemah dan berusaha memberi senyuman
padanya.
Keesokan paginya, Aldo kembali menjenguk. Tapi sayang, kondisiku
terlampau parah. Kritis. Dokter berusaha keras untuk menyembuhkanku.
“Kita butuh donor sumsum tulang belakang secepatnya! Kalau tidak,
nyawa Sherly tidak akan tertolong.” Kata dokter.
Ayah dan ibu bergegas melakukan tes kecocokan sumsum tulang
belakang.
“Sher, bertahanlah. Masih banyak hal yang belum kita lakukan. Aku
mohon.” Aldo berkata lirih disampingku.
Dari hasil tes, ternyata sumsum tulang ibulah yang cocok dengan
sumsum tulangku-aku diberitahu setelah siuman-. Dokter segera melakukan
operasi. Teman-teman dan keluarga berdoa semoga operasi berjalan dengan lancar.
Setelah beberapa jam, operasipun selesai dengan lancar.
“Bangun, Nak. Ayah dan ibu sudah rindu dengan canda tawamu. Cepat
bangun, Nak,”
“Sher, bangunlah..”
“Sherly, kita udah kangen banget sama kamu. Bangun, Sher..”
Aku mulai bisa mendengar apa yang barusaja mereka ucapkan. Aku mengumpulkan
seluruh kekuatan dan mencoba mengerjap-ngerjap mata. Hey, aku mulai melihat
atap rumah sakit yang putih. Aku melihat keluarga dan teman-temanku yang banjir
akan air mata.
“Kok pada nangis sih?” seruku bingung menatap sekitar.
“Kita semua seneng kamu udah siuman, Sher,” kata Firna dengan
mengusap air matanya.
“Makasih udah bertahan, Sher,” ujar Aldo yang sekarang tepat berada
di sebelah kanan ranjangku.
“Untukmu, aku bertahan, Do.” Kataku dengan berusaha memberi
senyuman kepadanya.
Tepat sehari sebelum ujian nasional dilaksanakan, aku diperbolehkan
pulang oleh dokter. Aku segera mengejar ketertinggalanku. Teman-temanku berbaik
hati mengajariku. Kami belajar lebih giat untuk hari esok.
Ujian nasional berhasil mereka lewati dengan lancar. Beberapa minggu
kemudian, hasil ujian telah keluar. Aku dan teman-temanku bersorak girang
dengan nilai yang memuaskan. ‘YEAY KITA LULUS!’ itulah kata teman-teman
seangkatanku.
“Bisa ngomong sebentar?” suara berat tiba-tiba memeotong
pembicaraanku dengan Mila dan Firna. Aku kenal dengan suara itu. Aku langsung
balik badan dan mengikuti langkah tegapnya yang ternyata menuju taman sekolah.
“Aku gak bisa pendam ini lagi, aku cuma mau bilang.. Emm.. Aku udah
lama punya perasaan ini, Sher. Dan aku rasa inilah waktu yang tepat untuk
bilang ke kamu. Maukah kamu jadi pacarku?”
“Sebenarnya, akupun punya perasaan yang sama denganmu, Do. Dan
memang inilah waktu yang tepat. Waktu aku sakit kemarin, aku liat ketulusan
kamu, kesabaran kamu dan kasih sayang kamu.. Dan untukmu aku bertahan. Jadi,
IYA!” seruku menatap bola matanya.
“Yeeeee, nah gini kek dari dulu” seru Firna tiba-tiba.
“Cuma mau bilang iya aja nunggu lulus.. hahaha” Mila muncul tepat
dibelakang Firna. Aku hanya bisa manyun melihat kedua sahabatku yang pasti
menguping pembicaraanku tadi.
Setelah lulus, aku dan Aldo melanjutkan ke universitas yang sama.
Lima tahun kemudian, aku resmi bersanding dengan pangeranku yang satu ini. Aku
bahagia di dekatnya. Jika penyakitku datang kembali, aku harus bertahan. Untukmu
aku bertahan, Aldo.
Komentar
Posting Komentar